efek ketentuan TZMKO bagi wilayah indonesia adalah
PPKn
rereoofa
Pertanyaan
efek ketentuan TZMKO bagi wilayah indonesia adalah
1 Jawaban
-
1. Jawaban Dide123
Pada saat bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Hindia Belanda (tidak tercantum pada Undang-undang Dasar RI tahun 1945; UUD-45) dimana pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya sesuai ketentuan TZMKO 1939. Ini berarti kapal asing dengan leluasa dapat melayari laut yang mengelilingi atau yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Atas dasar ketentuan peralihan dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD-45), maka ketentuan yang erat terkait dengan masalah wilayah RI adalah Territorial Zee en Maritime Krigen Ordonansi tahun 1939 (TZMKO-39). Maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada TZMKO-39, negara RI terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang satu sama lain dipisahkan oleh laut dan/atau selat di sekelilingnya, lihat ilustrasinya dalam Peta 1. Hal ini jelas tidak menguntungkan Indonesia. Ini berarti kapal asing pada waktu itu dapat dengan leluasa melayari laut atau selat yang mengelilingi atau disekitar pulau-pulau kita hingga tiga mil-laut mendekati pantai. Hal itu jelas mengancam eksistensi keutuhan wilayah negara RI dipandang dari sudut mana pun. Ketentuan TZMKO-1939 tersebut dirasa sangat merugikan negara RI yang baru berdiri pada saat itu, karena Indonesia hanya memiliki laut wilayah sejauh 3 mil-laut saja, sehingga antara pulau-pulau Indonesia yang berjumlah 13.000 lebih menjadi terpisah-pisahkan oleh laut dan selat karenanya. Pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan deklarasi, yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda, menyatakan bahwa laut antar pulau tidak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Laut antar pulau merupakan laut penghubung, sehingga laut di antara pulau-pulau merupakan satu kesatuan dengan pulau-pulau tersebut. Batas laut wilayah (territorial) Indonesia adalah 12 mil-laut dari garis pantai kearah laut lepas, dan Indonesia mempunyai kewenangan untuk mengelola daerah kedaulatannya yang mempunyai batas wilayah 12 mil dari garis pantai tersebut. Hal ini dipertegas dengan UU RI No. 4/Prp. tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Secara implisit UU ini menyatakan klaim kedaulatan atas pulau-pulau terluar Indonesia dan sekali gus klaim atas laut wilayah (laut territorial) Indonesia. Pada tanggal 17 Februari 1969 dikeluarkan Pengumuman Pemerintah (Deklarasi) tentang Landas Kontinen Indonesia yang kemudian dipertegas dengan UU RI No. 1 tahun 1973. Laut di atas landas kontinen ini merupakan laut zone ekonomi eksklusif (ZEE)/laut internasional dengan batas sejauh 200 mil-laut dari garis pantai yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Selama era ini, khususnya mulai 1969 hingga satu decade, Pemerintah RI gencar melakukan perundingan-perundingan batas baik batas-batas darat, maupun batas-batas maritime, baik secara bilateral maupun trilateral. Setelah keputusan politik pada tahun 1973 tersebut di atas, dalam kurun waktu 1974 hingga akhir tahun 1998, terdapat perubahan politik dan hasil diplomasi politik yang substansial dan berhubungan dengan batas-batas maritime NKRI. Yaitu (i) adanya pernyataan politik rakyat Timor-Timur, yang dibiarkan/ditinggalkan oleh pemerintah penjajahan Portugal, untuk berintegrasi dengan NKRI pada tahun 1974 melalui deklarasi bersama, dan (ii) diakuinya eksistensi negara RI sebagai negara kepulauan oleh masyarakat dunia melalui Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, dan (iii) diundangkannya perubahan daftar titik-titik dasar garis pangkal Indonesia disekitar laut Natuna pada tahun 1998. Menindak lanjuti kemauan politik rakyat Timor-Timur tahun 1974 tersebut, maka pada tahun 1978 melalui Ketetapan MPR No. VI tahun 1978 dinyatakan lah Timor-Timur berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai Provinsi yang ke-27. Keputusan/Ketetapan tersebut dengan sendirinya mempengaruhi keadaan batas-batas wilayah maritime Indonesia disekitar pulau Timor dan laut Timor.